Belum ada judul

 Laki-laki itu tetap diam ditempatnya, tapi kukira jiwanya tengah melalang entah kemana. Sementara perempuan di depannya, terus mencecar meski hanya sunyi yang ia dapatkan.


Kudengar sayup-sayup perempuan itu berkata "Mas, jadi bagaimana kita?"

Dengan raut putus asa, dengan nada yang nestapa.


Tak ada jawab. Lelaki itu tetap tak bergeming.


Hingga akhirnya kudapati perempuan itu pergi dengan langkah seribu, dan lelaki tadi tidak berusaha mengejar, juga tak mencegahnya sedikitpun.


Anehnya setelah kepergian si perempuan, si lelaki tersenyum, jiwanya telah menyatu dengan raga. Ia mengaduk kopi yang baru saja diantarkan barista. Kemudian ia mengamati sekeliling, air mukanya tampak tenang.

Tak lama.. datanglah perempuan lain menghampiri meja lelaki itu duduk. Perempuan beransel navy dengan setumpuk buku di tangannya. Dengan gaya jilbab yang pas untuk muka bulat, serta kacamata menambah kesan betapa pintar ia.

Lelaki itu menyapanya dengan sumringah. Aku beranggapan bahwa mereka teman dekat, atau malah kakak-adek. Tapi kemudian aku salah setelah perempuan tadi menelungkupkan tangan di dada tuk menyalami ia.

Mereka mengobrol banyak hal. Dari tempatku duduk, terdengar berbagai istilah keilmuwan. Keduanya sama-sama larut dalam diskusi hangat. Hingga akhirnya kulihat perempuan itu pamit, dan kulihat dari sebrang jendela, perempuan beransel navy dijemput lelaki lain.


Lelaki itu tampak gusar, kukira karena ia juga melihat dari jendela besar di sisiku perihal perempuannya dijemput pulang lelaki lain. Namun setelahnya, justru mataku bertemu dengan matanya. 

Ia menghampiriku, aku tertegun barang sejenak. Tanpa ba bi bu, ia menarik kursi di depanku, menatap lekat.


"Sudah berapa lama kau duduk di sini?"

"Hmm.. sejak kau dengan perempuan yang tak kau acuhkan?"

 

Ia tersentum tipis, angkuh.


"Dia wanita kelima yang mengajakku menikah hari ini."


"Ha ha ha, berapa perempuan lagi yang kau beri harapan palsu?" tanyaku dengan nada sinis


Di tertawa keras.. menatap mataku lekat

"Bukannya kau melihat wanita yang katamu ku tak acuhkan tadi? Sejak awal bukankah aku tidak mengajaknya menikah? Aku hanya bertanya kabar dan sekadar basa-basi tentang film, musik, dan lainnya. Kemudian ia malah Geer, dia bicara dengan teman²nya melalui ponsel bahwa ada laki² yang menyukainya dan mau menikah. Padahal kata menikah tak keluar sama sekali dari mulutku."


Aku sedikit setuju, karena aku menyaksikan di dekatnya.

"Lalu perempuan tadi yang beransel navy, ia teman diskusi yang asyik perihal seni, politik, dan bahkan alam. Ada rasa kagum dari hati, menjelma ketertarikan. Sayang.. aku tak sat set menyampaikan rasaku. Ia pun diambil orang"


Aku terkekeh menyaksikan lelaki asing ini bercerita padaku.


"Bagaimana dengan perempuan pertama yang mengajakmu menikah hari ini?" Kutanya ia dengan nada sedikit mengejek


"Ia perempuan cerdas, religius, ayahnya seorang pengasuh pesantren. Kami bertemu atas perintah abahnya. Kata abahnya aku pantas dijadikan menantu dan memegang pesantren miliknya. Sayang, aku tak berminat. Itu tanggungjawab yang berat bagi aku yang hanya anak petani. Bukan siapa-siapa, tak memiliki apa-apa." Jawabnya dengan mata memandang jauh.. "padahal ia cantik, juga pintar"


Aku manggut-manggut


"ohya perempuan yang kedua, ia penyuka seni, datang dengan puisi-puisinya, pengetahuannya juga luas, kami banyak mengobrol segala hal. Namun, anehnya aku sama sekali tak tertarik padanya. Dan sepertinya ia juga tak menaruh rasa padaku"


Aku menggut-manggut lagi


"Perempuan yang ketiga..." Ia menerawang jauh lagi

"Entah aku lupa tentang dia, sepertinya kurang mengena,"


"Perempuan yang keempat. Perempuan sederhana, bukan dari keluarga kiai, tidak berpengetahuan luas, namun ia religius, bisa dibilang aku dan dia sefrekuensi. Kita bisa mendiskusikan isi kitab kuning, karena ia telah lama mempelajari itu. Aku sudah jatuh cinta padanya. Sayang, ternyata ia datang bersama lelaki lain yang duduk di mejamu ini. Tadi.."


Aku manggut-manggut lagi..

"Perempuan yang keempat tadi, mengapa kau tak acuhkan? Lihat, ia diam-diam mengawasi di sebrang sana?" Aku memberi kode dengan lirikan mata


Lelaki itu bahkan tidak mengikuti ekor mataku, ia justru sibuk menatap sepatunya sendiri.


"karena kami tidak nyambung sama sekali"

Jawaban yang singkat itu justru aku maklumi tentang sikap tak acuhnya.


"bisakah kau membuatnya pergi dari sana? Aku jadi tak enak sendiri" pintanya padaku


"Loh, aku tak mau ikut campur urusanmu.."


"Sejak kau dengar ceritaku, sesungguhnya kau telah ikut campur"


Aku terperangah. 

"Jawab saja bahwa 'sudah ya, kita tidak ada apa-apa lagi hari ini'" kataku..


Lalu matanya menuju tempat perempuan tadi yang sekonyong-konyong memalingkan muka.

"Gak tega.."

"Dari tadi kau sudah tega"

Ia menatapku "kau saja"

"Ogah, dasar pengecut." Aku pun pergi dengan langkah yang cepat, menjauh darinya.

Lelaki itu tetap di sana. Tertegun di mejaku.

Komentar