Analisis Cerpen

SK Pensiun
Oleh: Ahmad Tohari

Jenazah Pak Kirom sudah diusung oleh empat lelaki yang berdiri diam. Mereka belum bergerak sampai Modin selesai membacakan doa-doa pengantar arwah.Pak Kirom, pensiunan mantra pasar, meninggal waktu subuh tadi pagi, kata orang karena serangan jantung.Suasana khusyuk dan lengang.
Semua orang maklum mengapa Salsi terus menangis; siapa yang tidak bersedih karena ayahnya meninggal. Tetapi belum tentu semua orang tahu ada penyebab lain yang membuat kesedihan Salsi menjadi berlipat, yakni celoteh para tetangga yang menyebut perkawinan Pak Kirom dengan yu Jembar menjadi sebab kematiannya.
Sebulan yang lalu Pak Kirom memang menikahi yu Jembar, janda beranak empat yang berjualan rujak di sudut perempatan kempung. Perempuan itu sudah lama menjanda, barangkali karena tidak ada lelaki yang siap menjadi ayah empat anak tiri. Usia yu Jembar mungkin 40-an, dan Salsi tahu persis usia ayahnya 67 tahun. Kebanyakan tetangga menertawakan keputusan Pak Kirom. Mereka bilang Pak Kirom lelaki tua yang tak tahu diri. “sudah tua, jantungan pula, eh, menikah lagi? Apa tidak salah?” ucap seorang tetangga.
“ah, Pak Kirom ada-ada saja! Sangat tidak pantas!” ujar tetangga yang lain. “berjalan saja sudah tidak bisa tegak, lalu buat apa kawin lagi?”
Salsi menangkap celoteh-celoteh itu dengan perasaan masygul dan sejujurnya Salsi juga tidak setuju dengan kehendak ayahnya. Maka, dulu ketika ayahnya datang untuk memberitahukan maksudnya, Salsi berusaha merintangi.
“Ayah tak usah begitu. Ayah dengar celoteh para tetangga?” “ya, ayah mendengar semuanya. Mereka semua memang punya mulut.”
“Bukan begitu, ayah. Saya dan suami jadi malu. Orang-orang tentu akan mengatakan kami tidak suka merawat ayah sehingga ayah ingin menikah lagi. Ayah memang sudah lama hidup seorang diri, tapi masa iya menikah lagi? Bukankah saya setiap hari mengirim makan pagi, siang, malam, dan mengurus pakaian ayah?”
“ya, ayah bersaksi, kamu dan suamimu, juga anak-anakmu, semua baik. Maka setiap malam ayah berdoa agar hidup kalian diberkati. Hidup kalian yang berkecukupan ini tetap sentosa.”
“Terima kasih, ayah. Kalau memang demikian bukankah semuanya sudah cukup dan patut disyukuri? Lalu mengapa ayah ingin menikah lagi?  Ayah sudah tua dan kesehatan ayah kurang baik.”
Salsi ingat malam itu ayahnya diam, tidak menanggapi kata-katanya. Tatapan lelaki tua itu kelihatan kosong, alisnya merapat. Batuk-batuk kecil. Tanda-tanda ketuaannya muncul dengan sangat jelas. Kepalanya menunduk. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sambil berjalan menunduk Pak Kirom pulang. Salsi memandang ayahnya yang turun meninggalkan teras rumah. Makin jauh dari cahaya lampu, tubuh ayahnya makin samar, lalu hilang di balik gerbang halaman.
Salsi menarik napas panjang. Agak cemas ketika dia ingat ayahnya mengidap tekanan darah tinggi dan jantung. Pak Kirom rawan serangan. Dokter sudah menyampaikan hal itu kepada Salsi. “Jaga ayahmu jangan sampai tekanan darahnya meninggi. Jaga perasaannya.”
Ketika Pak Kirom menetapkan hati menikahi yu Jembar, pada hari pernikahan, Salsi dan suami minta ikut pergi ke Kantor Urusan Agama. Perasaan Salsi campur baur: ada malu, ada tawar, ada risi yang menyatu menjadi rasa kurang nyaman. Namun semua perasaan itu menyingkir ketika datang kesadaran terdalam, apa pun dan bagaimana pun lelaki tua yang sedang berhadapan dengan penghulu yang jauh lebih muda itu adalah ayahnya. Darah Salsi adalah darah ayahnya. Napas Salsi adalah kelanjutan napas ayahnya.
Maka Salsi mendadak sadar dirinya harus bersama ayahnya dalam keputusan ini. Salsi merasa wajib membuat ayahnya merasa senang meskipun tetap tidak mengerti mengapa lelaki tua dan penyakitan itu memutuskan menikah lagi.
Yu Jembar duduk di samping Pak Kirom yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Keduanya seperti ayah dan anak tapi yu Jembar tampil terlalu bersahajah. Hampir tak berbeda dari penampilannya sehari-hari sebagai penjual rujak di sudut perempatan jalan desa. Salsi menyesal mengapa tadi pagi dia tidak pergi kerumah yu Jembar untuk merias perempuan itu sekadarnya.
Pak penghulu masih melakukan penelitian adminitrasi kedua pengantin, dan dari belakang Salsi mulai mendengar itu lagi, celoteh yang melecehkan ayahnya. Sialnya, celoteh kali ini bukan dari para lelaki tetangga, melainkan dari teman-teman Pak Kirom sendiri sesama pensiunan yang ikut mengantar pengantin. Pak Pahing, ketua persatuan pensiunan, juga ada. Bahkan suara Pak Pahing yang paling jelas terdengar.
“Nanti malam pak kirom mendapatkan tantangan berat,” katanya. “Umur 67, jantungan, lawan umur 40 yang masih segar bugar. Itu tidak seimbang, tapi disitulah serunya, kan?”
Terdengar tawa para pensiunan yang hampir semuanya kakek-kakeknya. Mereka duduk pada barisan bangku dibelakang Salsi. Pak penghulu ikut tersenyum. “tetapi dari nada suaramu, Pak Pahing, saya curiga; jangan-jangan sesungguhnya kamu iri hati terhadap Pak Kirom?” ujar Pak Slamet, pensiunan pegawai rumah gadai.
Ledakan tawa terulang, kali ini bahkan lebih seru. Kekhimatan acara pernikahan sungguh ternoda. Namun para kakek pensiunan seperti tidak merasa bersalah. Jadi mungkin benar kata orang tentang celoteh berahi, tua atau muda sama saja.
“Bila ada yang sudah membawa jamu kuat lelaki, berikan kepada Pak Kirom sekarang…”
“Ssssst,” desis pak penghulu untuk menghentikan celoteh yang berkelanjutan itu. Atau karena pak penghulu melihat yu Jembar mulai meneteskan air mata. Mungkin pak penghulu menduga yu Jembar menangis karena suara celoteh dari belakang itu.
Salsi mendengar semuanya. Sungguh tidak nyaman mendengar celoteh-celoteh yang merendahkan ayahnya. “Ah, kasihan ayahku. Ya, tetapi mengapa ayah melakukan sesuatu yang menyebabkan mereka mendapat peluang menertawakanmu, ayah?” dan pertanyaan itu hanya bergema dalam hati Salsi.
Acara pernikahan di Kantor Urusan Agama itu usai dalam suasana hambar disertai sendau gurau para kakek pensiunan. Salsi melangkah ingin membimbing ayahnya, namun mendadak batal karena sadar sudah ada orang yang lebih pantas digandeng oleh Pak Kirom. Pasangan pengantin keluar. Para pensiunan teman-teman pengantin lelaki mengiring, masih dengan mulut usil mereka. Dihalaman kantor, suami Salsi membuka pintu mobilnya untuk Pak Kirom dan istrinya yang baru. Tetapi yu Jembar hanya berdiri terpaku. Dua sampai tiga kali dipersilakan masuk ke mobil, yu Jembar bergeming. Kemudian dengan suara yang hanya terdengar oleh suami tuanya, yu Jembar minta pulang naik becak.


Jenazah Pak Kirom sudah dipanggul oleh empat lelaki, dan belum diberangkatkan ke kuburan sebelum doa pengantar arwah yang panjang selesai dibaca oleh Pak Modin. Salsi masih menangis sambil mengamini doa itu. Suasana tetap hening. Ketika akhirnya doa pengantar arwah itu usai, Pak Modin menyuruh pengusung jenazah mulai melangkah. Jenazah Pak Kirom berangkat ke kuburan.
Salsi berbaur dengan para pelayat bergerak menuju tempat pemakaman. Dia berharap tidak akan mendengar lagi celoteh tentang ayahnya, karena di kalangan masyarakat sesungguhnya ada kata-kata bijak, mengenai si mati, tinggallah kebaikan-kebaikannya.
Tetapi itu harapan kosong, karena Salsi masih mendengar entah suara siapa, “Saya bilang juga apa. Masa iya lelaki yang penyakitan mengawini janda muda yang masih perkasa.Nah, tentu begini jadinya.Belum sebulan menikah Pak Kirom sudah diusung ke kubur.”
Suara itu seperti menusuk hati Salsi. Tetapi dia merasa tidak bisa berbuat apa-apa di tengah banyak manusia yang semua bergerak kearah kuburan. Namun setidaknya suara itu mengingatkan Salsi pada hari-hari awal pernikahan ayahnya dengan Yu Jembar.
Pada sore hari pertama pernikahan itu Pak Kirom menemui Salsi. Dia minta anaknya itu tidak mengubah sedikitpun kebiasaan mengantar makanan dan mengurus pakaiannya. Pak Kirom juga mengatakan tidak akan tidur di rumah Yu Jembar.
“Kok begitu, Ayah?”
“Ya nama dia memang Jembar, namun rumahnya sempit sekali. Kamu tahu, kan? Hanya ada satu balai-balai, itu untuk Jembar dan dua anaknya yang masih kecil. Anak yang lain tidur di bangku panjang atau di surau.”
“Ayah bisa membawa mereka ke rumah Ayah, kan?”
“Ayah juga berpikir seperti itu, dan sebenarnya Jembar tidak keberatan. Namun hanya dua anaknya yang masih kecil yang mau ikut. Dua lainnya tidak mau. Ah, Ayah tidak ingin memisah-misahkan Jembar dan anak-anaknya. Bagi Ayah sudah cukup kini Jembar adalah istri Ayah. Serumah atau tidak tak jadi masalah apa-apa.”
Salsi mengangguk-angguk dan kehabisan kata-kata.Maka dia iyakan semua permintaan ayahnya untuk tidak mengubah kebiasaan mengurus ayahnya. Dia tahu setelah pernikahan itu ayahnya setiap hari menemui Yu Jembar di warung rujaknya. Atau pergi ke pasar untuk membeli buah-buahan yang diperlukan oleh Yu Jembar. Setiap hari sehabis asar Pak Kirom kembali ke rumahnya. Begitu kebiasaan Pak Kirom ditemukan meninggal dalam keadaan duduk di kursi ruang tengah.
Pulang dari pemakaman, Salsi masuk ke rumah ayahnya. Beberapa orang sedang membereskan kursi-kursi plastik bekas tempat duduk para pelayat. Salsi masuk dan merinding setelah menyadari rumah ayahnya akan kosong selamanya. Salsi mengumpulkan barang-barang ayahnya yang patut disimpan sebagai kenangan. Dan dia sedang membuka laci meja ayahnya ketika Pak Pahing, kepala persatuan pensiunan, masuk.
“Nah, kebetulan kamu di sini. Saya mau minta SK Pensiun ayahmu. Coba cari di map plastik warna cokelat. Kami para pensiunan biasa menyimpan SK itu di sana.”
Memenuhi permintaan Pak Pahing, Salsi berpindah mencari-cari ke lemari di sudut ruang tengah, karena di laci meja tidak ada map plastik cokelat. Ketemu di lemari itu.
“SK Pensiun ayahku buat apa, Pak Pahing?”
“Untuk mengurus beberapa keperluan, tapi yang utama untuk mengurus hak istrinya.”
Salsi diam sejenak.
“Yu Jembar?”
“Ya, betul.Siapa lagi?”
Dan Salsi termangu selama Pak Wardi menjelaskan bahwa sekarang Yu Jembar berstatus janda pensiun meskipun hanya kurang dari satu bulan menjadi istri almarhum Pak Kirom.
“Pak Pahing, saya dan suami adalah orang swasta. Jadi kami kurang paham akan seluk-beluk pensiunan. Saya kira tunjangan pensiun Ayah terhenti begitu beliau meninggal, karena ibu kami sudah mendahului dan anak-anak Ayah semua sudah dewasa.”
“Itu benar jika ayahmu tidak menikah lagi. Ah, sudahlah. Saya tak punya waktu banyak. Serahkan SK itu, besok ada uang duka dari persatuan pensiunan untuk keluarga almarhum.”
“Baguslah, dan serahkan itu buat Yu Jembar.”
“Baik. Dia juga akan saya bantu sampai tunjangan janda pensiun yang menjadi haknya turun setiap bulan.”
Pak Pahing minta diri dan kemudian Salsi memandangi langkah-langkahnya sampai jauh. Makin lama pandangan Salsi baur. Dia seperti melihat Yu Jembar, penjual rujak itu, dengan empat anaknya yang yatim tidur bersama di atas balai-balai. Salsi juga melihat SK Pensiun ayahnya yang akan dibawa oleh Yu Jembar setiap bulan ke kantor pos untuk mengambil tunjangan. Salsi sadar itu indah sekali, dan tiba-tiba dia merasa amat bangga menjadi anak ayahnya.


Unsur Intrinsik

o   Tema               : Pengorbanan
o   Latar                : Di kuburan dan di Kantor Urusan Agama
o   Plot/alur           : Campuran

o   Penokohan dan perwatakan    :
-          Pak Kirom : bijaksana, murah hati, rela berkorban
-          Salsi           : patuh, baik
o   Sudut pandang            : Orang ketiga
o   Suasana hati    : Sedih, mengharukan
o   Amanat           : Jangan hanya melihat orang dari luarnya saja, karena hati manusia hanya Tuhan dan manusia itu sendiri yang tahu.

Unsur Ekstrinsik
·         Nilai Moral
Dalam cerpen tersebut terdapat kandungan nilai moral yaitu agar tetap khusnudzon pada sesama, karena yang dilihat dari luar kadang tidak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Seperti pada cerpen karya Ahmad Tohari tersebut, para tetangga dan teman-teman Pak Kirom bahkan Salsi sudah menyangka yang tidak-tidak dengan keputusan Pak Kirom yang akan menikah lagi. Ternyata dibalik keputusannya tersebut, Pak Kirom menyimpan niat yang sangat mulia.
·      Nilai Agama
Nilai agama yang terkandung dalam cerpen tersebut adalah ketika prosesi penguburan, Pak Modin mendoakan jenazah Pak Kirom.
·      Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam cerpen ini adalah ketika prosesi penguburan, sebagai muslim jenazah Pak Kirom didoakan oleh Pak Modin.
·      Nilai Sosial
Masyarakat disekitar menggunjing Pak Kirom karena pernikahannya karena usia Pak Kirom dan Yu Jembar yang terpaut jauh, selain itu Pak Kirom sudah sakit-sakitan.
·      Unsur Psikologi
Salsi merasa malu karena niatan pernikahan Pak Kirom dengan Yu Jembar yang dijadikan bahan gunjingan oleh tetangga. Rasa malu tersebut merupakan akibat dari ketegangan emosi yang terjadi pada diri Salsi.

Komentar