Aku
di depannya kini, mencoba bahagia dihari bahagianya. Mata rasanya tak mau
lepas dari bidadariku yang kini tampak lebih cantik dengan segala apa yang
lekat padanya, termasuk senyumnya yang enggan surut meski ia tahu ada hati yang
tak karuan karenanya.
Aqad
yang terucap dari bibir lelaki disisinya menggugurkan segala asa dan angan yang
sebelumnya telah kurangkai dengan sangat indah, yang dulu sempat ia tertawakan
tanpa mengamini. Wanitaku kini bahagia, dapat kulihat dari pancaran mata
indahnya, dapat kurasakan dari senyum manisnya. Sedang aku dengan tegar menyalami
keduanya, duduk berjam-jam hanya untuk menyaksikan kekasihku berbahagia dengan
orang lain.
***
Sebelum
senja terperangkap di matanya, sesaat setelah kegugupan mencair bersama kopi
hitamku, aku mengajukan tanya pada wanitaku yang kukagumi sejak kali pertama
kubertemu “Bolehkah aku
mencintaimu?” kataku dengan ketenangan yang kubuat-buat
“Apakah aku
layak dicintai?” Jawabnya tak kalah tenang
“ layak, aku sudah mencintaimu” kataku dengan penekanan pada kata ‘mu’, dan samar pada kata ‘mencintai’
“ layak, aku sudah mencintaimu” kataku dengan penekanan pada kata ‘mu’, dan samar pada kata ‘mencintai’
Dia mengangkat
kedua bahunya, tertawa, dan menutup bukunya
“Silahkan
saja, apa hakku untuk tidak membolehkanmu” dia tersenyum manis sekali
“terima kasih”
“tapi....”
“tidak usah
dilanjutkan Yasmin, aku sudah tahu apa yang ingin kau sampaikan”
“memangnya
apa? Sok tahu” dia menghardik, matanya melotot, jengkel, namun kutahu dia
becanda
“Mendengar saja
tidak mau apalagi kukatakan Yasmin.” Aku tidak pernah bisa tidak lembut pada
Yasmin, aku mencintainya, hingga segala apa yang membuatku marah pada orang
lain, membuatku maklum jika yang melakukannya adalah Yasmin. Termasuk ketika
dia memutuskan menikah dengan orang lain, aku dengan sangat berlapang dada
menerima putusannya.
Yasmin
tertawa, ia memandangku dengan mengejek, namun ada simpati yang tersembunyi di
balik matanya
“ah Rud, kamu
ini jangan berprasangka dulu, jadilah pecinta sejati, harusnya kamu tidak mau
tahu dengan perasaanku, harusnya kau bahagia dengan perasaanmu, bahkan harusnya
aku tak perlu tahu tentang perasaanmu” cecarnya, kali ini dia tampak serius,
meski kutahu dia sangat jarang menanggapiku secara serius
“Kamu egois
sekali”
“memang.. lalu
mau kau apakan perasaanmu terhadapku?” tanyanya dengan pandangan yang amat
teduh, dia menopang dagunya dengan kedua tangan, menatap mataku. Baru kali ini
dia mau memandang aku, mau menatap aku, biasanya siapapun lelaki yang bicara
dengannya ia enggan menatap matanya. Tatapannya membuatku diam, menyadari senja
sebentar lagi akan tenggelam, tepat di matanya, tepat di sana.
Aku belum menjawab,
dia sudah pamit pergi, karena aku begitu lama diam memastikan jawaban yang
tepat.
“Aku ingin
kamu mencintaiku dengan sederhana, tahu gak lanjutannya? Baca saja puisi
Sapardi, judulnya aku ingin, oke?” pesannya sebelum dia benar-benar memunggungiku
dan meninggalkan aku dengan segala teka-teki, serta dengan bahagia yang
menjalari hati karena pertemuan dengan dia adalah kebahagiaan.
************
Dia yang
kupanggil cinta, aku tak pernah menyentuhnya karena dia begitu berharga. Kini
lelaki di sampingnya menyentuh ia di depanku, mencium kening wanitaku,
merangkul pinggulnya yang indah, semua tampak bahagia, termasuk aku yang ikut
berseri melihat keduanya, ikut bersyukur dan kagum ketika orang di sebelahku
berkata “Mbak Yasmin kok canggung gitu di foto”
“Ya namanya
engga pernah pacaran” jawab yang lain
Wanitaku
memang suci belum tersentuh siapapun lelaki.
Aku tetap
memandang keduanya dengan kagum. Tak memungkiri keduanya tampak sangat serasi,
terlebih setelah kutahu siapa sang lelaki, membuatku tak heran Yasmin mau
menerima dengan kesungguhan hati.
***
“Kamu kapan
mau membuatkan kopi untukku?” tanyaku siang itu di kedai kampus
“Kapan-kapan
ya” jawabnya singkat dengan nada datar
“Kamu masih
belum jatuh cinta padaku?”
Dia menggeleng
“kamu tidak
berusaha”
Dia menatap
mataku, tatapan yang tidak sama waktu senja tenggelam di matanya
“Aku akan
menikah Rudi” jawabnya dengan raut muka serius, sembari memalingkan wajahnya
dariku
“aku yang akan
menikahimu” kataku dengan tegas
Dia menggeleng
lagi, tertawa
“Kamu?”
“sekarang juga
ayo aku akan bertemu orang tuamu”
“cinta tak
harus memiliki kan rud?”
“tidak Yasmin,
Cinta harus memiliki!!!”
Mataku berkaca-kaca,
menerima kenyataan bahwa Yasmin memang tidak pernah bisa menghadiahkan
perasaannya untukku, aku selalu percaya diri bahwa Yasmin yang memang baik itu
menerimaku karena sikapnya yang tak pernah berubah sejak kuutarakan
perasaaanku, karena perhatiannya semakin bertambah setiap harinya, namun
keputusannya itu membuat aku sadar bahwa demikianlah adanya Yasmin yang hanya
menganggapku sebagai sahabat dan kebetulan mencintainya.
“Iya Rud,
Cinta harus memiliki, oleh karenanya aku harus menikah dengan dia, dengan ia
yang kucintai” jawab Yasmin dengan sangat tenang
“Yasmin.....”
desisku menahan segala amarah, berusaha tetap berlaku lembut pada wanitaku
“Aku mencintai
dia Rud, dengan diamku, dengan doa yang kurapal tiap harinya, dengan segala
kepasrahan yang terjaga. Kemudian Allah mengetuk hatinya, hingga segala apa
yang tak kukira terjadi, dia melamarku dan aku menerimanya” dia bercerita
seperti tanpa sadar telah melukaiku, namun maafku telah tersembahkan untuk
Yasmin bahkan sebelum dia melakukan kesalahan.
Aku menyalakan
rokokku, sebelumnya aku tak pernah merokok di depan Yasmin, namun kini aku
butuh merokok.
“Siapa dia?”
aku bertanya dengan segala ketegaranku
“Jika berkenan
datanglah ke pernikahanku” Jawab Yasmin sembari memberikan sebuah undangan.
***
AKU
MENCINTAINYA, akuku dalam bisik yang terpekik, dengan mata berkaca menahan
gejolak asa, yang kubisiki menepuk bahuku menyisakan tatapan simpati. “Sabar
bro!” katanya sembari mengambil posisi duduk di sebelahku.
“Lu kok bisa bro duduk tegar di
sini! Apa yang lu rasakan?” tanya Algi yang beberapa saat lalu membuyarkan
lamunanku tentang Yasmin.
“Bahagia, lihat Yasmin cantik
sekali, dia tertawa dengan tanpa beban di sana”
“Bulshit! Lu sih gak gercep, tuh
diambil orang kan si Yasmin”
“Kamu bahkan tidak pernah tahu
bagaimana Yasmin menolakku dengan sangat indah Gi, kamu tidak tahu jadi diam
saja”
Algi dia sahabatku yang memang
tahu bagaimana aku selalu bercerita tentang Yasmin dengan segala adanya di
hatiku, Algi yang juga sangat menghargai dan menghormati Yasmin selalu
mengamini tiap anganku. Dia sahabat yang baik meski kini ia tampak membenci
Yasmin.
“Rud, pulang lu sebelum hati lu
berdarah-darah” Algi menyeret lenganku menuju kerumunan beberapa orang yang
ternyata juga teman-temanku. Sempat berbasa-basi sedikit, mereka mengajakku
pamit. Algi enggan melepaskan tangannya, aku pun sebenarnya sudah lelah
menyaksikan segala pose yang diarahkan fotografer yang membuat kedua mempelai
tampak lebih mesra juga semakin dibuat tak berdaya ketika senyum dan tawa Yasmin
tampak begitu nyata bahagia.
“Lu mau pamit gak? Apa langsung
pulang?”
“pamit lah, mana mungkin aku menyiakan
kesempatan untuk berfoto dengan Yasmin yang begitu cantik hari ini” jawabku
“dasar lu ah”
Kemudian kami menyalami mempelai,
aku di belakang Algi diam-diam mempersiapkan segala strategi agar tampak
tenang. Yasmin sudah meilhatku, ia tak dapat menyembunyikan tatapan matanya
yang lagi kulihat senja di sana karena berkat riasan yang luar biasa mata
Yasmin tampak lebih lebar, senja semakin jelas tampak.
Kini giliranku, pengantin lelaki
sudah menyiapkan tangan untukku jabat, aku menjabatnya dengan keakraban yang
sama dengan teman-temanku, dan seperti sebelumnya pula Yasmin tak pernah
bersalaman dengan lelaki, maka aku hanya menelungkupkan tangan di dada dan mempersembahkan
senyumku untuknya.
***
Getir masih merambat, pahit masih
terkecap, gambar Yasmin dalam mataku masih jelas tak tersekat. Mimpi buruk
lebih buruk dari mimpi-mimpiku sebelumnya. Tak terpungkiri masih ada kelegaan
yang bersisa, menyisakan alasan tuk kembali tersenyum dengan alasan yang
mengada. Kubuka ponselku bermaksud menelepon Yasmin, Algi menggedor pintuku
membuatku melepaskan genggaman ponsel
“Tidur aja lu dari tadi, gue
telponin gak diangkat” Cecar Algi dengan nafas terengah setelah kubukakan pintu
“Lagian ada apa si?”
“Yasmin Rud.... yasmin” potongnya
“kenapa Yasmin?”
“Yasmin meninggal”
“Apaan sih gak lucu lu nyumpahin
dia, gak mungkin Gi, tadi gue abis chattingan” kataku namun tak terpungkiri
gelisah langsung menyergap diri
“Buka dong Hp lu, lu kan kalau
tidur kayak orang mati! Lihat noh di grup sudah ramai broadcast. Lagian kapan
lu chat? Yasmin udah kritis dari pagi tadi”
Ah.... rasanya lebih baik mimpi
tadi menjadi nyata saja, maka aku akan benar-benar bahagia melihat dia bahagia
bersanding dengan lelaki idamannya. Kini air mataku tak terbendung, tumpah
begitu saja. Yasmin, pekikku tanpa bersuara.
Yasmin telah pergi, namun
perasaanku masih tertata rapi untuknya. Banyak sekali yang hadir dengan kembang
duka, termasuk lelaki yang pernah ia ceritakan terakhir kalinya, lelaki yang
sudah mengisi hatinya, yang ia sebut dalam rapal doa, yang membuat ia begitu
pasrah pada perasaanya, yang membuat dia tidak bisa mencintaiku. Lelaki itu
tidak tampak tegar dariku, matanya sembab, aku melihatnya begitu kacau. Aku mendekatinya
“Kak.... wanita itu, yang kini tengah tebaring tenang di pusara pernah
mencintai kakak dengan cara dia yang begitu romantis” kataku setengah berbisik.
Dia menoleh kearahku, “Aku tahu karena itu aku menangis, dia perempuan pertama
yang membuatku secengeng ini.”
Ia memberikanku secarik kertas
Jika
benar cinta tak harus memiliki, maka biarlah kamu tak kumiliki, sebab semua
yang termiliki pun bukan milik hakiki. Termasuk cinta yang melipir ke hati, tak
layak jika bukan untuk yang benar-benar hak tuk dicintai. Sebab apa yang
(merasa) kita miliki, akan diminta-Nya kembali, termasuk nyawa pada diri.
“ itu tulisan Yasmin yang
terakhir sebelum ia pulang, seharusnya dia tahu kalau aku juga kagum padanya,
dan berniat menikahinya” akunya sembari menyeka air mata dan tersenyum
memandang pusara.
Yasmin,,,, kau harus mendengar
itu, bahwa kau juga dicintai oleh lelaki yang kau cintai. Juga aku.
Komentar
Posting Komentar