Meniti Jalan Pulang

Aku sudah diajak pulang, pulang ke rumah 'katanya'. Rumah yang tak pernah aku beri manfaat atasnya, rumah yang sering aku abaikan, rumah yang kerap aku lalaikan, aku tinggalkan, aku duakan atau tigakan..
Namun orang-orang dari rumah tersebut masih teramat baik, mengajakku meniti jalan pulang, sedang aku sendiri tak tahu sebenarnya di mana rumahku.
Beberapa rumah menganggap aku penghuninya, memaksaku menjadi penghuni, memberiku tanggungjawab yang berarti.
Orang-orang dari rumah tersebut sama baiknya, sama pedulinya, sama sayangnya terhadapku, hingga aku begitu sulit meninggalkan salah satunya untuk berdiam di satu rumah saja, menjaga para adik, memberi kehangatan dan menjadi ada untuk mereka yang menginginkannya.
Adik-adikku dan para penjaga rumah yang menyuruhku pulang masih begitu percaya padaku yang mana aku sudah hilang percaya atas diriku sendiri. Aku sudah terlanjur kuyup, terlampau nyaman berjalan-jalan ke sana kemari. Rumahku di mana dan yang mana sebenarnya?
Jangan kira aku berhenti memikirkannya, bahkan di rumah manapun aku tak pernah berhenti memikirkan bagaimana cara aku menghidupi rumah lainnya.
Barangkali para Saudara-saudaraku serta adik-adik tercinta di sana sudah tahu kemana aku pergi bermain hingga lupa jalan pulang, lebih tepatnya karena tempat yang aku singgahi menyuruhku untuk tetap tinggal, mempercayakan amanah yang harus aku pikul, dan lalu menjadikan aku merasa dibutuhkan sampai aku menulikan telingaku, menutup mataku untuk beberapa hal, karena sudah lelah mempersembahkan pikiranku untuk para rumah yang aku singgahi, juga rumah yang katanya rumahku itu.
Rumah itu apa kabar? apa warna catnya sekarang? siapa saja orang yang peduli atasnya? Siapa yang membetulkan atap jika bocor? Siapa yang mendongeng kisah pahlawan dan tujuannya kala semangat telah mulai padam? Aku rindu sebenarnya, sangat rindu, namun prasangka di kepalaku berjejalan memaksaku untuk memekik rindu itu.
Aku tentu ingin pulang, sekadar menilik warna temboknya, sekadar menghitung tiang penyangganya, sekadar ingin tahu siapa yang menyiram bunga dihalamannya hingga semerbak tercium sampai adaku di jauh sini.
Aku tentu Rindu sudah kubilang, rindu senyum para adik dan ingin mengenal adik-adik yang baru. Rindu berkumpul bersama para pembelajar yang dulu pernah bekerja sama mencoba menghidupkan rumah itu dengan segala jerih usaha, meski aku hanya figuran semata.
Adikku, dan Saudara-saudaraku para penghuni rumah, kalian memang berhak cemburu jika ingin cemburu, rasanya begitu sulit aku ceritakan bagaimana segala beban menumpuk dalam pikiran. Maafkan aku yang belum dapat adil membagi diri, tapi percayalah kalian tetap hidup di hati.
Saudaraku tersayang, adikku terkasih, semoga maaf dan maklum kalian senantiasa tersembahkan untuk aku figuran yang kalian nantikan pulang.
Iya, kalian adalah rumah, tapi izinkan dan ridhoi aku membangun rumah untuk para penghuni baru, rumah yang ini adalah amanah yang berarti, sampai tangan, pikiran orang-orang hebat ikut tandang dan berjuang.
Maafkan aku, dan aku pasti pulang meski tak utuh lagi.



tertanda
(A.F.E)
Figuran

Komentar