Jogjakarta Masih Istimewa

Jogjakarta yang aku idamkan, kota yang kerap menyuguhkan berbagai alasan untuk rindu bertandang hingga tertaut rasa ingin kembali jumpa pada buminya.
Maret lalu kali kedua aku menginjak bumi Jogja, meski temanya masih sama : ke Pesantren, tetap saja aku sudah dibuat berkali-kali jatuh cinta sejak aku mulai merencanakan perjalanan.
Pagi itu sampailah aku di Stasiun Lempuyangan dijemput adik terkasih yang seketika berkata aku makin kurus saja. Dia orang kesekian yang bilang demikian, dan memang aku belum berhasil dengan program penggemukan badanku.
Tak banyak tempat yang aku kunjungi di sana, karena adikku sibuk dengan urusannya. Tak apa yang penting aku sudah di Jogja, sudah bertemu adik yang hanya setahun sekali berjumpa, juga sudah berkenalan dengan orang-orang baik di sana yang mau membagi kehangatan, canda dan tawa.

Teman Baru Rezeki dari Allah

Jika biasanya para tamu santri akan bermalam di tempat khusus tamu, kedatanganku kedua kalinya ini diperkenankan tinggal di kamar pengurus, yang memperkenankannya ya pengurus itu sendiri, dia adalah teman adikku dan telah menjadi temanku.
Meski sempat ragu-ragu tuk sekadar kopdar, namun segala ragu itu mencair juga sampai akhirnya aku benar tinggal di kamarnya. Namanya santri pastilah harus berbagi kamar dengan santri lainnya, eh maksudnya pengurus. Ya di sana aku berkenalan dengan para penghuni kamar itu dengan segala canggungku.
Aku bukan orang yang dengan mudah membagi duniaku, maka hanya dengan beberapa orang saja duniaku kubagi meski tak sepenuhnya yaitu pada orang-orang yang memang sudi membagi dunianya.
Sejak sebelum aku mengenal mereka pun aku telah dibuat kagum pada santri, terlebih mereka pengurus, para pecinta Al-Quran. Maka aku merasa amat beruntung dan tidak berhenti bersyukur karena telah dianugrahkan teman baru seperti mereka.
Dua malam aku di sana, dalam ruang yang asing namun para penghuninya begitu ramah hingga aku lupa pada kata 'asing' tersebut. Mereka begitu rendah hati, tak ada kesombongan pada tatapan mereka meski ada dari mereka sudah ada 30 Juz di kepala.
Dua malam yang sangat berarti, tiga hari penuh arti.

Sampai akhirnya aku pamit. Air mata kerinduan sudah berderai meski ragaku masih ada di tempat yang sama. Rindu mengetuk, mendobrak hati, membuat aku begitu sulit meninggalkan tempat itu. Senjalah yang menjadi saksi kala aku menangisi kepergianku sendiri. Jogjakarta sudah terpunggungi namun segala kenangannya telah tercatat rapi.
Terima kasih untuk kalian yang telah sudi mengukir kisah di hidupku.
Kali lain semoga dapat kembali diperjumpakan :) :*


Komentar