Sore menjelang, baru saja aku merapal doa-doa
dan kugantung harapan untuk senja yang nanti, senja yang kan menjadi saksi
pertemuan kita. Senja yang saat ini kutulis kisahnya. Pada senja yang itu aku
kembali, mengetuk pintu kenangan yang memang tak terkunci. Beragam kesan
tersampir rapi, ada tentangmu, tentang pertemuan dengan kesan pertamaku
terhadapmu. Dan kelak pada senja-senja yang lain kidung doa masih terlapalkan
untuk kisah yang lain jua. Sudah berapa kali senja kita lewatkan sudah seberapa
banyak kenangan tertorehkan? Duh.. maafkan, baperku keterlaluan.
Aku masih menyimpan kegetiran saat pertama kali
aku dihadapanmu, aku masih ingat bagaimana air mukamu saat itu. Kupastikan itu
adalah kali pertama dan terakhir aku berani menatap matamu, untuk selanjutnya
tatapan matamu adalah sesuatu yang kuhindari. Ya.. saat itu kataku dalam hati
“aku enggan mengenal lebih jauh” dan nyatanya aku tak tahu, sudah sejauh apa aku
sekarang mengenalmu, atau barangkali sesungguhnya kita belum mengenal sama
sekali.
Dan pada perjumpaan-perjumpaan selanjutnya aku
merasa makin tak tahu diri dan semakin manja terhadapmu, namun saat itu belum
ada apapun yang terasa berbeda dari hatiku. Lama-lama dari tak ada apa-apa
menjadi ada, yaitu ketika kita jauh dan rindu seketika mengetuk kesunyianku. Kau
dimana? tanyaku tak pernah terjawab hingga kini.
Ada cemburu yang menghadang, ada kecewa yang
meradang, dan ada rindu yang tak terdeskripsikan. Sementara adamu tak pernah
kuketahui, sedang perasaanmu tak pernah kugapai.
Dan lagi senja yang menutup hari berpapasan
denganku, tersenyum padaku, menemani aku yang tergagap lunglai. Sebotol air
mineral dingin masih kalah dinginnya dengan sikapmu hari itu. Lagi.. kubalas
senyum senja dengan getir, aku berusaha menghempaskan apa-apa yang tak perlu
kubawa-bawa lagi. Segala yang menjadi tanda tanya telah tercecer di sana.
Ada yang
berubah dan itu entah, seperti dinginnya udara malam ini, sebagaimana sikapmu
yang makin membeku.. terhadapku. Jangan lupa senyum dan bahagia….
Komentar
Posting Komentar