Saripah; Surga nyata bagi Rien


 
            “Saripahku, dengan ketunggalanmu kau peluk aku, tanpa keluh kesah kau korbankan segalanya. Ibuku.. lantas kenapa engkau pergi begitu saja? Menyisakan duka yang tak pernah ada habisnya
            Kalimat dalam status itu masih saja membayangi hariku, meski telah satu minggu terlewati, dan waktu terasa amat cepat menunggui komentar yang tak kunjung terjawab. Andai saja jarak tak terlampau jauh hingga aku dapat dengan lesat datang tuk sekadar melayat dan menghibur sahabatku. Namun percuma. Jarak telah sedemikian kejam membunuh segala keinginanku.
Baru saja aku merebahkan tubuhku pada kasur lantai tipis dikamar petak yang kutunggui, berniat qoilulah, dan tiba-tiba ponselku bergetar untuk kemudian berdering sebentar, tanda e-mail masuk. Ternyata Rien yang mengirimiku e-mail, ada satu lampiran berformat docx. Mungkin sebuah cerpen, maka kuputuskan membukanya lewat laptop agar lebih mudah membacanya.
Aku tertegun sebentar, ketika kutahu itu bukanlah sebuah cerpen yang biasa ia kirimkan. Dengan seksama aku membaca, tanpa mencoba melewatkan sedikitpun setiap inti tulisannya.
***
Salam tanda kasih pada jiwa paling asih
Terima kasih Ayu, sahabatku.. atas ucapan bela sungkawamu beberapa waktu lalu, dan juga seutas doa yang telah kau hantarkan tuk ibuku tercinta dengan segala ketunggalannya : Mak Saripah.
Ay, berkenankah kau dengar sedikit keluhku atas ketidakberdayaanku ditinggal seorang tua bernama Saripah? Yang telah sudi merawatku meski ia miskin tak berharta. Kata beliau aku dan Mas Wahyulah hartanya. Hingga sang maut menjemput, beliau masih menjaga harta-hartanya walaupun diantaranya adalah bukan anak kandungnya, ialah aku. Aku sangat beruntung dianggap harta karun oleh emakku ketika disudut berbeda aku dianggap najis yang keberadaannya harus segera disucikan, maka diantara jenis-jenis najis aku adalah najis mugholadhoh yang agar suci perlu tahap-tahapan tertentu. Aku tak perlu berpanjang lebar untuk itu. Kau sudah ngaji fathul qorib dengan Kyai Qomar kan? Kau pasti tahu apa itu najis mugholadhoh, aku bak kalb dan khinziir. Haha.
Lewat tangan Mak Saripah, Allah menyelamatkanku dari cengkraman wanita tak bernurani yang ingin membunuhku; bayinya sendiri. Aku adalah anak yang tidak diharapkan oleh kedua orang yang sengaja bersenggema hingga dengan kunfayakun-Nya jadilah aku, tapi mereka elakkan. Hati mereka entah tertutupi oleh apa hingga ingin membunuh aku kecil yang tak berdosa.  Naudzubillah min dzalik.
Dan sejak saat itu Mak Saripah memutuskan mengadopsiku sebagai adek mas Wahyu. Ia rengkuh aku dalam kehangatan cintanya, meski dalam balutan kemiskinan, ia tak pernah membedakan, ia menyanyangiku sebagaima ia menyanyangi mas Wahyu. Mak Saripahku telah ceritakan sepotong kisah itu ketika aku duduk dikelas 5 SD, dan maaf baru sempat aku perdengarkan-ceritakan-padamu.
Sejak tahu aku adalah aku, raga yang hampir tertebas, bocah kecil yang lahir dari rahim orang lain. Aku tak pernah neko-neko, selalu menuruti titahnya, tapi entah  ketika satu minggu sebelum beliau pergi selama-lamanya, ia berwasiat. Sebenarnya nasehat usang yang setiap hari aku dengar, tapi tak pernah sekalipun merembes lewat pori hatiku, bahkan telingaku berlagak tuli. Kata beliau aku harus legowo memaafkan kesalahan dua orang yang dengan kejam ingin membunuhku. Untukku, itu sebuah titah yang teramat sulit aku jalani.
Usiaku 10 tahun waktu itu, masih terlalu dini untuk mengerti asal-usulku. Seperti mendengar gelegar petir tepat diantara daun telingaku, isak mak Saripah menambah ketakutanku atas itu. Mak Saripah menceritakan itu atas dasar kesepakatan bersama antara ibu kandungku dan beliau. Beberapa hari sebelum Mak Saripah membongkar masa laluku yang dikuburnya, datang seorang wanita yang biasa memberiku tiga lembar seribuan. Aku telah diajarkan olehnya sendiri untuk memanggil dia tante, tapi dihari itu, dimana mak Saripah bercerita, dengan suara parau ia tegaskan ia adalah ibuku. Aku tersentak. Saat itu pula aku berjanji pada diriku sendiri untuk menolak pemberiannya sebesar apapun, meski sebenarnya dari awal aku telah menjilati ludahku sendiri. Mana bisa mak Saripah yang hanya seorang buruh batik tulis menyekolahkanku disekolah favorit, dan membiayai kuliah mas Wahyu yang kini  sedang menempuh pendidikan S1nya di Universitas terkemuka Yogyakarta. Wanita itu—ibu kandungku – telah turun tangan untuk pendidikan dan kadang-kadang makan sehari-hariku dan keluarga angkatku. Ia juga mengaku khilaf dan telah sadar. Tapi tetap saja aku enggan tinggal bersamanya, meski berulang kali ia memohon. Dan juga.. aku belum memaafkannya.
Sebenarnya aku terlanjur sudi hidup dalam kebohongan, aku malah berharap mak Saripah menciptakan skenarionya sendiri daripada aku harus mendengar segala kejujuran atasnya. Netraku menjadi saksinya, aku yang sebagaimana gamangnya harus legowo menerima kenyataan. Aku sempat menantang malaikat maut untuk menjemput paksa aku. Jika saja Mak Saripah tak menenangkanku, maka kita tak akan pernah bersahabat.
Hari-hari selanjutnya, wanita itu sering datang ke rumah, emak menyambutnya dengan sangat hangat, ia –wanita itu--  selalu berurai air mata tiap kali menghadapi polah tingkahku yang secara lugas menolaknya, yang tanpa segan menyalahkannya. Mak Saripah membela dia, dan memaksaku menghormatinya. “Bagaimanapun ia Ibumu nduk..”  katanya. Dan bagaimanapun aku anaknya yang pernah akan dibunuhnya. Aku geram, marah! Bagaimana pula wanita itu, yang tiba-tiba mengaku sadar, lalu ingin merebutku dari pelukan hangat surgaku. Aku tidak sudi!
Di hari lain, saat aku masih duduk di SMP. Wanita itu datang membawa seorang lelaki, kau pasti sudah menebak itu siapa. Dia ayah kandungku. Tapi aku memperlakukannya persis seperti perlakuanku pada wanita itu. Dan setelah aku dengar mereka bukan suami istri, hatiku semakin panas, segala prasangka menjejal dikepalaku, membenarkan anggapan beberapa tetangga yang menyudutkan : aku anak haram?
Kemarin tepat tujuh hari mak Saripah tiada. Duh, aku kelimpungan tanpanya, aku bak seorang pendaki yang terlalu lelah dan ingin menyerah saja. Asaku telah putus. Meski aku mengaku ikhlas atas ketiadaannya, begitupun ikhlas pada takdir yang menjeratku. Aku tetaplah aku dengan ketidakberdayaanku. Aku ingin menyusul Mak Saripah. Aku telah membukakan pintu untuk Izroil menjemputku, tapi ia tak kunjung datang. Justru yang datang dua orang itu, yang membawa serta suami dan istri masing-masing. Dua orang yang mengaku sebagai Ibu dan Ayahku, lalu aku diperkenalkannya pada masing-masing keluarga mereka sebagai anak yang pernah menjadi aibnya. Mereka memperebutkanku, meski dengan istilah halus, aku harus menentukan pilihan atas penebusan dosa mereka. Kau pasti sudah tahu jawabannya, siapa lagi kalau bukan Mak Saripah, telaga dari surga yang menghapus dahagaku. Duh mak kenapa engkau mati? Tinggalkanku yang begini? Aku rapuh mak..

Dari:
Rien yang kehilangan

***
Tanpa sadar air mataku telah basahi seluruh pipiku, Rien yang ceria ternyata hidup dalam balutan duka yang ia pendam sendirian, dan kini semua tumpah bersama dengan ketiadaan Mak Saripah. Airien yang begitu tangguh ternyata juga rapuh. Ia  seorang aktivis, yang sering menggembor-gemborkan anti freesex, anti kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, ternyata mempunyai kisah dibalik orasi-orasinya. Cepat-cepat aku mengambil ponselku, mencari kontak atas nama Rien. Memanggilnya. Ingin menenangkan dan menghiburnya. Beberapa saat tersambung. Berulangkali diriject. Laptopku kembali memunculkan e-mail baru, masih dari Rien.
***
Kenapa tiba-tiba menelpon? Jangan bilang hanya ingin menenangkan dan menyumbangkan satu kata sabar dengan datar. Kebiasaan mutlak seorang pendengar yang buntu solusi. Haha. Tapi aku memang tak butuh solusi.
Aku belum menyelesaikan ceritaku Ay. Mereka masih disini, menungguiku yang tetap diam disudut kamar. Aku harus memilih dan sudi hidup dengan salah satu keluarga mereka, tapi aku mengajukan syarat, mereka harus membiayai hidup mas Wahyu sampai ia bisa mandiri atau mendapat kerja yang layak. Tentu saja itu hal mutlak yang harus terpenuhi, karena aku besar dan hidup dalam pengadaan cinta Mak Saripah. Aku yakin keduanya akan sepakat, karena sebelumnya masing-masing dari mereka telah menawari mas Wahyu sedemikian rupa, lantas aku harus memberi syarat apalagi? Sebuah mobil mungkin? Ah ibuku bersuami juragan batik tersohor, itu akan semudah membalikkan telapak tangan, mengingat beliau -- suami ibuku--  memang dermawan dan terlampau baik padaku. Kalau aku meminta pada Ayah, mungkin akan menjadi sebuah pertimbangan, lagi pula aku juga tak inginkan sebuah mobil, karena aku memang tak butuh itu,  yang kubutuhkan sekarang adalah Mak Saripahku!  Yang kini telah kembali ke haribaan-Nya. 
Tapi, aku tetap harus menentukan pilihan, kau tahu aku akan memilih siapa? Mungkin aku akan memilih mereka berdua, aku yang saat ini masih kuliah dan tinggal di pesantren tentu akan makmur ketika dua keluarga itu, yang sama-sama juragan menghidupiku sebagaimana mestinya, haha. Jangan anggap aku matrealistis. Tentu akan unik jika hidup diantara 2 keluarga, ya diantaranya saja, tanpa pengaharapan dan keinginan berbaur didalamnya.
Ay, doakan mak Saripah. Semiskin-miskinnya dia, kau pernah mencicipi ikan asin dan gorengan tempe glepungnya kan? Lebaran kemarin juga kau request taoto dan dikabulkannya. Oh ya jangan macam-macam denganku, sekarang aku sudah kaya.

Rien OKB (orang kaya baru) 
***
Air mata haru masih terus bergantian menetes dari sudut mataku, sejenak tersenyum membaca kalimat terakhir di emailnya. Ia yang masih terbalut duka tetap saja dapat hadiahi tawa pada sahabatnya yang tak tahu diri ini. Aku menatap langit luas yang berhiaskan gerombolan-gerombolan awan, membentuk selaksa imajinasi dimataku.
“Rien, pada matahari yang sebentar lagi akan sempurna menduduki tahtanya ditengah waktu, kusampaikan salam dan kehangatan untukmu. Luruhkan bencimu meski sulit, berbahagialah dalam damai diantara 3 keluargamu. Dan kuharap ketika senja menyapa, dan lembayung menggantung dengan indahnya, hatimu lantas tersinari oleh cahaya meski hampir tertebas malam, sabar, legowo, dan jadilah kuat”.

Komentar

  1. at the last, i have found your blog!! yesss.....

    BalasHapus

Posting Komentar