Ternyata hati tak bisa berdusta
Meski ku coba tetap tak bisa
Dulu cintaku banyak padamu
Entah mengapa kini berkurang
Maaf, ku jenuh padamu
Lama sudah ku pendam
Tertahan di bibirku
Mauku tak menyakiti
Meski begitu indah
Ku masih tetap saja.. jenuh..
Tahukah kini kau ku hindari
Merasa kah kau, ku lain padamu
Cinta bukan, hanya cinta saja
Sementara kau merasa cukup
(rio febrian-jenuh)
*****
Sudah berulang kali aku memutar lagu yang sama, seolah sedang mendengarkan jawaban dari segala pertanyaanku yang hanya tersusun rapi di kepala, aku belum siap menerima, terlebih jika segala prasangkaku benar, dan lagu ini memang kata hatinya.
Sudah beberapa hari ini Dikta berbeda, sapaannya begitu hambar dan jarang, segala perhatian, kepedulian, waktu dan dirinya telah berlari jauh memunggungiku, tanpa pamit dan permisi, aku tak bisa mengejarnya, tak dapat menemukan jejak langkahnya, ia bersembunyi, tak dapat ku temukan. Ia bukan dirinya yang ku kenal, tapi aku juga berpikir; mungkin ini sisi lain dari dirinya. Segala prasangka masih menjejali kepalaku, berputar-putar, membisikiku, membuat hatiku seperti tersayat belati yang ku tancapkan sendiri, terlebih ketika ku ingat perkataan Fandy sore tadi " mungkin dia bosan, dan laki-laki yang sudah bosan membalas sms pun malas apalagi sms duluan ", aku seperti di tampar berkali-kali ketika mendengar jawaban itu.
Sudah pukul 9 malam, aku mengecek ponselku yang masih memutarkan lagu yang sama, masih tak ada sms, BBM, apalagi telepon. Aku hanya tersenyum miris, kembali menelan kepahitan seperti hari kemarin.
Kini aku menceritakan kesunyianku pada malam sebagaimana malam telah membagi kesunyiannya, aku melabuhkan tubuhku di peraduan, memejamkan mata, membuang segala energi negatif yang sedari tadi berkeliling di kepalaku, dan membiarkan malam membelaiku, hingga.. aku terlelap..
****
Hubungan ku dengan Dikta di pisahkan oleh jarak yang membentang jauhnya, yang memaksa kami beberapa waktu tak saling bertemu, membuat kami terpaksa bersahabat dengan jarak dan membuat kami muak dengan rindu yang tak bisa berlabuh sempurna, tak sebagaimana kekasih lain yang ketika rindu mereka bisa bertemu.
Rinduku terjebak labirin
Tak tau dimana ujungnya
Tapi, rinduku ini ada untukmu
Meski tak berlabuh sempurna
Detak jarum jam yang terus berputar, penantian, keluh kesah, dering handphone, melamun sendirian adalah bukti bagaimana sebuah kisah tengah terurai, dengan beberapa tokoh yang sedang memainkan perannya masing-masing, sebuah kisah bernuansakan cinta, aku adalah tokoh utama dalam kisah itu, dan juga dia. Entah antagonis atau protagonis, yang jelas aku adalah yang paling melankolis. Penantian menjadi sesuatu yang biasa bagiku, sekadar menanti dering ponsel di pagi hari, siang atau malam hari, keluh kesah juga selalu menjadi benalu hati, kadang hati berbunga-bunga tak jarang juga suram merana. Aku begtu peka akan perubahan Dikta, dia bosan padaku atau entah pada hubungan yang hanya melulu begini, berlarut-larut menyuarakan isi hati lewat teks: sms, bbm, atau inbox facebook. Basi! Aku tahu dia bosan sebelum fandy memprediksi, dan dugaanku tepat saat dikta bicara kebenarannya. Saat itu aku sudah menyiapkan hatiku jauh-jauh hari, jadi aku tak menganggap pernyataan dikta adalah sebuah badai, meski kekecewaan ada tapi aku maklumi. Aku juga pernah bosan, bagaimana mungkin tak bosan ketika penantian terbuang begitu saja, ketika komunikasi melulu hanya lewat teks. Aku bosan tapi mampu bersikap manis seperti seekor kucing yang pura-pura manis dan ketika tuannya lengah ia mencuri ikan asin di meja, sedangkan aku hanya ingin mencuri segala perhatiannya. Namun gagal! Dia bosan, dan melepaskan aku. Aku masih dapat tersenyum, tak ada yang sakit. Semua akan baik-baik saja. Terima kasih telah mencabut belati yang telah kutancapkan sendiri, ia mengakhirinya lagi-lagi dengan sebuah teks. Aku pasrah, malah merasa ringan seakan beban hati hilang setengah.
Bertemu untuk berpisah,
Senja ketiga di kota kelahiranku, dimana hamparan laut dengan mentari di salah satu sudut dan langit yang luas membentang serta bergulung-gulung ombak yang riuh rendah menerjang batu-batu menciptakan panorama dan suasana yang berbeda, tapi tampak hampa. Aku sedang tak menikmati apapun, bahkan aku tak menanti sunset yang tengah dinanti-nanti banyak orang disekelilingku, tapi akulah yang tengah dinanti, tepatnya suara atas jawabanku yang dinanti oleh laki-laki yang duduk tak jauh dariku, tentang putusan final sebuah hubungan, dia menginginkan jawaban atas keputusannya beberapa hari yang lalu lewat blackberry messenger untuk mengakhiri hubungan denganku. Sedangkan aku merasa tak perlu menjawabnya, karena keputusan Dikta bagaimana pun tak bisa di ganggu gugat dan aku memang tak ingin menggugatnya. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku utarakan namun semua lenyap ikut tergulung ombak dan hilang bersama berakhirnya senja, termasuk perasaanku.
Jakarta,
28 september 2014
Di sudut ternyaman : kamarku surgaku
Komentar
Posting Komentar